Horizzon
Kebenaran Baru dan Kegagalan Pers
Guru sekaligus tokoh pers Dahlan Iskan pernah menyampaikan orasi ilmiah yang mengungkap munculnya kebenaran baru di era sosial media.
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
Kemudian di poin c, pers berperan untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Kita kemudian menggugat, bagaimana dengan informasi yang tersebar liar di sosial media yang di dalamnya berserakan informasi yang berisi tentang kebenaran baru, yang sesungguhnya adalah informasi sesat?
Kita harus jujur bahwa pers benar-benar telah kehilangan peran dan bahkan eksistensinya untuk menjadi pemegang supremasi atas kebenaran sebuah informasi.
Baca juga: PR Itu Diingatkan Kembali oleh Mas Bechi
Regulasi pers yang terkungkung di dalam UU 40/1999 plus era disruption media membuat pers nasional justru seperti macan ompong yang tak bisa berbuat banyak di era derasnya informasi yang tak terkontrol.
Pers yang seharusnya sebagai pemegang supremasi kebenaran atas informasi bahkan tak mampu menjawab hal-hal esensial yang dinanti publik.
Contoh sederhana saja, pers tak pernah mampu meyakinkan publik soal keaslian ijazah Presiden Joko Widodo.
Pers tak berkutik dan membiarkan isu tentang polemik ijazah presiden ini menjadi diskursus liar di sosial media.
Harus diakui, soal ijazah ini hingga saat ini terpelihara dua kubu yang saling bertentangan yang sama-sama meyakini pendapat mereka.
Ironisnya, kita juga tak mampu mengeja, kubu mana yang menebarkan kebenaran baru dan kubu mana yang menyajikan kebenaran faktual.
Baca juga: Netralitas yang Sudah Berubah Makna
Ijazah presiden hanyalah contoh semata, masih banyak hal lain yang tak mampu dijawab oleh pers sehingga publik mampu berkembang dalam diskusi umum yang berdasar atas informasi yang akurat dan benar.
Atau barangkali selain kelelahan menghadapi disruption dan pragmatisme yang semakin nyata, kita juga membutuhkan regulasi yang tak lagi bertema kebebasan?
Boleh jadi kita harus meningkatkan kualitas pers kita bukan hanya sekadar merdeka, melainkan menghadirkan eksistensi yang nyata akan pers nasional.
Kita ingat, UU 40/1999 lahir di saat pers kita membutuhkan narasi kemerdekaan untuk menjawab represifitas Orde Baru.
Dalam perjalanannya, setelah kita (pers) merdeka selama 24 tahun, mungkin zaman menuntut tantangan baru terhadap pers nasional.
Eranya bukan Orde Baru yang mengancam kehidupan pers, namun kebenaran barulah yang mengancam pers, sehingga barangkali kita butuh regulasi baru yang mampu membangkitkan eksistensi pers nasional untuk melawan kebenaran baru yang tumbuh liar di sosial media. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.