Berita Nasional Terkini
Di Tengah Isu Kabinet Prabowo-Gibran Bertambah Gemuk, DPR Bahas Revisi UU Kementerian, Respons Baleg
Di tengah isu kabinet Prabowo-Gibran bertambah gemuk, DPR bahas revisi UU Kementerian. Repsons Ketua Baleg DPR RI.
TRIBUNKALTIM.CO - Ramai isu kabinet Prabowo-Gibran bakal bertambah gemuk, bahkan di medsos beredar nama-nama menteri dan wamen yang jumlahnya mencapai 40 dan 61 orang.
Hingga saat ini belum ada pernyataan resmi terkait jumlah menteri di kabinet Prabowo-Gibran.
Namun, DPR tiba-tiba membahas revisi UU Kementerian di tengah isu kabinet Prabowo-Gibran bertambah gemuk.
Apakah revisi UU Kementerian ini terkait dengan isu kabinet Prabowo-Gibran yang bertambah gemuk, simak informasi lengkapnya di artikel ini.
Baca juga: PDIP Tolak Revisi UU Kementerian Tambah Jumlah Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran, Sebut Tidak Perlu
Baca juga: Gerak Cepat Bentuk Kabinet Gemoy Prabowo-Gibran, Mardani Kaget UU Kementrian Negara Mulai Direvisi
Baca juga: Update Kabinet Prabowo-Gibran, Sederet Pasal Krusial UU 39/2008, Ada Soal Larangan Rangkap Jabatan
Wacana menambah jumlah menteri di kabinet Prabowo-Gibran tidak dimungkinkan karena berdasarkan UU Kementerian, jumlah menteri maksimal adalah 34 menteri dengan rincian 30 menteri bidang dan 4 menteri koordinator atau menko.
Lalu apakah revisi UU Kementerian terkait dengan wacana kabinet Prabowo-Gibran yang bakal bertambah gemuk?
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas menganggap revisi Undang-undang Kementerian Negara yang dibahas bersamaan dengan keinginan presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memperbanyak jumlah kementerian, hanya sebatas kebetulan.
"Kalau soal kebetulan bahwa ada isu yang terkait dengan perubahan nomenklatur dan jumlah kementerian, itu hanya soal kebetulan saja," kata Supratman ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Politikus Gerindra ini mengeklaim, Baleg sudah lama melakukan inventaris terhadap sejumlah RUU yang terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Supratman, revisi UU Kementerian Negara dibahas lantaran berkaitan dengan putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011.
"Dan salah satu yang kami temui itu adalah salah satunya, dua-duanya yang hari ini kita temui menyangkut soal Keimigrasian dan Kementerian Negara," ujar Supratman seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com.
Lantas, mengapa putusan MK tahun 2011 baru ditindaklanjuti oleh DPR sekarang?

Lagi-lagi, Supratman menjawab hal itu sebagai sebuah kebetulan belaka.
"Jadi Undang-undang yang diputuskan oleh MK dan dibatalkan dan yang lain itu banyak sekali.
Baca juga: Parpol Koalisi Kompak Dukung Kabinet Gemuk Prabowo-Gibran, Gerindra: Revisi UU sebelum Pelantikan
Sehingga kami diberi daftar, kami menugaskan kepada Badan Keahlian, untuk melihat, mana nih daftar yang sudah dibahas.
Karena yang memeriksa putusan kan bukan sedikit. Tenaga ahli kami tugaskan untuk melihat. Salah satunya adalah UU Kementerian Negara," jelas Supratman.
"Ya bisa saja kebetulan, menyangkut soal itu, yang jelas bahwa semua Undang-undang yang hasil putusan MK, Badan Legislasi sesegera mungkin untuk menindaklanjuti, supaya bisa menyesuaikan dengan Mahkamah Konstitusi," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, wacana bertambahnya jumlah kementerian negara, dikabarkan akan terjadi pada pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Prabowo disebut akan menambah jumlah kementerian menjadi lebih dari 34. Dari situ, wacana revisi UU Kementerian Negara pun dimunculkan.
Adapun revisi UU Kementerian Negara masuk dalam Prolegnas jangka menengah.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan bahwa Indonesia memerlukan banyak kementerian karena merupakan sebuah negara yang besar.
Dalam konteks tersebut, dirinya mengakui butuh peran banyak pihak agar program pemerintahan ke depan berjalan baik.
Baca juga: Ramai Kabar Kabinet Gemuk Prabowo-Gibran, Pengamat: Dampak Penambahan Kementerian Lahirkan Birokrasi
"Dalam konteks negara jumlah yang banyak itu artinya besar, buat saya bagus, negara kita kan negara besar.
Tantangan kita besar, target kita besar," kata Habiburokhman ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (6/5/2024).
"Wajar kalau kita perlu mengumpulkan banyak orang, berkumpul dalam pemerintahan sehingga jadi besar," sambungnya.
Secara Teori, Tidak Boleh Presiden membuat Kebijakan Sepenting Ini
Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, amandemen Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak mungkin dilakukan pada pemerintahan saat ini karena tidak ada dalam prioritas legislasi tahun 2024.
Meskipun, UU Kementerian Negara masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) 2019.
Tetapi, tidak tertulis akan dilakukan pada 2024.
“Jadi, seharusnya tidak mungkin secepat itu mengubah prioritas (legilasi) tahun ini dulu,” kata Bivitri kepada Kompas.com, Senin (13/5/2024).
Ditambah lagi, menurut dia, banyak politisi yang saat ini lebih memikirkan tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.
“Secara teori, tidak boleh presiden membuat kebijakan sepenting ini pada masa lame duck (masa transisi) seperti ini,” ujar Bivitri.
Baca juga: Nasdem PKB Belum Tentu Dapat Jatah Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran, Ada Syarat yang Harus Dipenuhi
Bivitri juga mengatakan, tidak ada kepentingan negara untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mengubah jumlah kementerian.
Apalagi, dikaitkan dengan gagasan menambah jumlah kementerian di era pemerintahan berikutnya yang akan dipimpin Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Semata-mata ini kepentingan untuk membagi kekuasaan,” katanya.
Dia menyebut, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 juga tidak bisa jadi parameter presiden menerbitkan Perppu tersebut.
Putusan MK itu diketahui menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan memaksa yang menjadi alasan presiden menerbitkan Perppu.
Ketiga hal tersebut adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
Lalu, belum adanya UU sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU tidak memadai.
Kemudian, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu cukup lama.
Sedangkan keadaan mendesak dan perlu kepastian hukum.
Namun, Bivitri menyinggung bahwa tidak ada yang tidak mungkin.
Terbukti, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan jelang akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama.
“ingatkan dulu revisi UU KPK tahun 2019 juga di ujung-ujung (masa pemerintahan) begini, September 2019 dan hanya dalam waktu dua minggu (prosesnya) dan sangat tertutup,” ujarnya seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com.
Oleh karena itu, Bivitri mengatakan, apabila revisi UU Kementerian Negara dilakukan atau Perppu diterbitkan pada periode akhir pemerintahan Jokowi, maka menunjukkan pemerintahan ke depan adalah periode ke-3 Jokowi.
“Kalau perubahan/Perppu (UU Kementerian Negara) dilakukan sekarang juga, benar-benar menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran adalah semacam periode ke-3 Jokowi,” kata Bivitri.
Baca juga: Ada 2 Menko Baru, Beredar Daftar 61 Calon Menteri dan Wamen Kabinet Prabowo-Gibran, Kata Gerindra
(*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Kaltim dan Google News Tribun Katim untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.