Berita Nasional Terkini
Mulai 17 Agustus 2024, Pembelian BBM Subsidi Dibatasi, Sinyal Harga Naik dan Kelas Menengah Tertekan
Mulai 17 Agustus 2024, Pemerintah akan batasi pembelian BBM subsidi. Rencana Pemerintah jadi sinyal harga naik hingga kelas menengah makin tertekan
Penulis: Aro | Editor: Muhammad Fachri Ramadhani
TRIBUNKALTIM.CO - Masyarakat kelas menengah harus siap-siap bakal makin tertekan dengan rencana kebijakan baru Pemerintah Joko Widodo (Jokowi), membatasi pembelian BBM subsidi.
Rencana pemerintahan Jokowi membatasi pembelian BBM subsisi ini akan dimulai 17 Agustus 2024.
Kebijakan pembatasan pembelian BBM subsidi ini dipastikan bakal berdampak, ekonom menyebut kelas menengah yang makin tertekan dan sinyal harga naik.
Rencana pemerintah untuk membatasi pembelian bahan bakar minyak (BBM) dinilai sebagai sinyal kenaikan harga.
Baca juga: Warga Pengetap BBM Subsidi di Bontang Kaltim Dibekuk Polisi, Terancam Hukuman 6 Tahun Penjara
Baca juga: Pasokan BBM Subsidi Kutai Timur Bertambah Satu Persen, Buntut Antrean di SPBU Menjamur
Baca juga: Pengetap di Kukar Timbun 700 Liter Pertalite, Kuras BBM Subsidi dengan Motor Tangki Modifikasi
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Ekonom senior, Faisal Basri. Faisal mengatakan, pembatasan pembelian BBM subsidi menjadi pertanda, pemerintah tidak bisa lagi menanggung beban belanja subsidi energi.
Hal ini seiring dengan nilai tukar rupiah yang tertekan dan fluktuasi harga minyak mentah.
"Kan artinya pemerintah enggak mampu lagi menahan subsidi tidak dinaikkan. Ini naik terus," kata dia, ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Adapun rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) saat ini memang masih berada dalam perhitungan pemerintah, yakni 82 dollar AS per barrel.
Akan tetapi, jika rata-rata harga ICP kembali meningkat, Faisal menilai, kenaikan harga BBM subsidi menjadi dimungkinkan.
"Artinya sinyal kemungkinan besar pemerintah akan menaikkan harga BBM yang selama ini di subsidi yaitu Pertalite dan Solar," ujarnya.
Kenaikan harga ICP dan pelemahan rupiah akan membuat beban belanja kompensasi pemerintah ke badan usaha penugasan semakin besar.
Kompensasi merupakan anggaran belanja yang diberikan pemerintah kepada badan usaha penugasan atas biaya yang ditanggung akibat perbedaan harga asumsi dan perkembangannya.

"Dana kompensasinya gelembung," ucap Faisal Basri seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com.
Sebagai informasi, realisasi belanja subsidi dan kompensasi mencapai Rp 155,7 triliun pada semester I-2024.
Baca juga: Pastikan Tepat Sasaran, Polres Mahulu Komitmen Kawal Penyaluran BBM Subsidi
Nilai ini sebenarnya turun 3,8 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 161,9 triliun.
Namun demikian, angka realisasi belanja subsidi itu belum memperhitungkan kompensasi yang perlu dibayarkan pemerintah kepada badan usaha penugasan, atas selisih bayar antara pagu kuota subsidi yang disiapkan dengan harga asli.
Kelas Menengah Tertekan
Menanggapi rencana pemerintah membatasi pembelian BBM subsisi, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan kebijakan ini bakal berdampak terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelas bawah dan menengah.
Namun, untuk kelas bawah, pemerintah dapat memberikan bantuan sosial sebagai bentuk dari jaring pengaman.
"Namun untuk pendapatan menengah, sejauh ini belum ada indikasi pemerintah akan melakukan atau memberikan bantuan yang sebenarnya bisa membantu daya beli mereka," tutur dia, Rabu (10/7/2024) seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com.
Padahal sejumlah data menunjukan, pola konsumsi masyarakat sedang berada dalam tren perlambatan.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) misalnya, yang semakin menurun, di mana pada Juni lalu berada di level 123,3.
"Ataupun misalnya PMI manufaktur yang mengindikasikan pelaku usaha menahan laju untuk melakukan ekspansi karena permintaan yang tidak setinggi dibandingkan bulan-bulan sebelumnya," ujar dia.
Baca juga: Polsek Samboja Tangkap Dua Pengetap BBM Subsidi, 300 Liter Pertalite Diamankan
Dengan melihat data tersebut, Yusuf meyakini, tingkat konsumsi pada periode mendatang akan semakin melambat.
Sebab, dengan adanya pembatasan pembelian BBM subsidi, masyarakat kelompok menengah akan melakukan penyesuaian terhadap pola konsumsinya.
"Bagi kelas menengah kenaikan ini justru berpotensi menekan daya beli mereka dan berpotensi mendorong mereka untuk melakukan penyesuaian konsumsi," ucap Yusuf.
Alasan Pembatasan
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan pemerintah bakal membatasi pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi mulai 17 Agustus 2024.
Hal itu dilakukan sebagai upaya mendorong penyaluran BBM subsidi lebih tepat sasaran, serta dapat menghemat anggaran negara.
"Sekarang Pertamina sudah menyiapkan, kita berharap 17 Agustus ini kita sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kita kurangi," ujar Luhut dalam unggahan Instagramnya @luhut.pandjaitan, dikutip Rabu (10/7/2024).
Pernyataan terkait pembatasan penyaluran BBM subsidi itu muncul ketika Luhut membahas defisit APBN 2024 yang diperkirakan bakal lebih besar dari target yang telah ditetapkan.
Menurutnya, ada banyak inefisiensi yang terjadi di berbagai sektor.
Maka dari itu, dengan memperketat ketentuan pembelian BBM subsidi diharapkan akan membantu penghematan anggaran.
Baca juga: Pemilik POM Mini di Samarinda Diringkus Polisi, Terungkap Modus Mengetap BBM Subsidi
Selain pembatasan BBM subsidi, pemerintah juga mendorong pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar pengganti BBM yang berbasis fosil.
Adapun bioetanol merupakan jenis bahan bakar yang dihasilkan dari proses ferementasi bahan-bahan organik, terutama tumbuhan dengan kandungan karbohidrat tinggi.
"Kita kan sekarang berencana mau mendorong segera bioetanol masuk menggantikan bensin, supaya polusi udara ini juga bisa dikurangi cepat," kata Luhut seperti dikutip TribunKaltim.co dari kompas.com.
Dia bilang kandungan sulfur dari bensin bisa mencapai 500 ppm, sementara bioetanol jauh lebih rendah kandungan sulfurnya bisa hanya mencapai 50 ppm.
Kondisi sulfur yang tinggi tentu akan mempengaruhi kualitas udara dan berdampak pada kesehatan manusia.
Maka dengan pengembangan bioetanol diyakini bisa menekan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Pada akhirnya, bakal menghemat anggaran negara untuk penyakit pernapasan hingga Rp 38 triliun.
"Kita hitung di situ, kalau itu terjadi sulfur tadi dikurangin, itu akan mengurangi orang yang sakit ISPA.
Dan itu juga (berdampak) kepada kesehatan (menghemat) sampai 38 triliun ekstra pembayaran BPJS," ungkapnya.
Menurut Luhut, saat ini pengembangan bioetanol sedang dilakukan Pertamina, yang diharapkan berjalan dengan baik sehingga bisa segera diterapkan.
"Ini sekarang lagi proses dikerjakan Pertamina.
Nah, kalau ini semua berjalan dengan baik, kita bisa mengemat lagi (anggaran negara)," kata Luhut.
Baca juga: Polres Kutim Sita Barang Bukti Kasus Ilegal Oil, Ada 5 Ribu Liter Lebih BBM Subsidi
(*)
Ikuti berita populer lainnya di Google News Tribun Kaltim
Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp Tribun Kaltim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.