Pilkada Kukar 2024

Polemik Masa Jabatan Edi Damansyah, Kata Aktor Dirty Vote dan Ahli Lain di Sidang MK Pilkada Kukar

Polemik masa jabatan Edi Damansyah, kata Zainal Arifin Mochtar yang aktor Dirty Vote dan ahli lain di sidang pembuktian MK sengketa Pilkada Kukar 2024

Penulis: Aro | Editor: Amalia Husnul A
www.mkri.id/Humas Mahkamah Konstitusi/Ifa
SENGKETA PILKADA KUKAR - Zainal Arifin Mochtar dan Herdiansyah Hamzah (kanan) di sidang pembuktian Mahkamah Konstitusi sengketa Pilkada Kukar 2024 gugatan Dendi-Alif hari ini, Kamis (13/2/2025). Polemik masa jabatan Edi Damansyah menjadi bahasan dalam sidang pembuktian MK sengketa Pilkada Kukar 2024 gugatan Dendi-Alif hari ini, Kamis (13/2/2025).  Simak keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan para pihak termasuk di antaranya, Zainal Arifin Mochtar yang Ahli Hukum Tata Negara dan aktor Dirty Vote. 

“Dalam pendapat saya, Plt. tidak bisa dihitung sebagai periodisasi jabatan.

Bahwa Plt. itu genealogi jabatannya pada dasarnya masih dalam status wakil kepala daerah, sehingga genusnya adalah wakil kepala daerah, hanya dalam ketentuan UU Pemda disebutkan ketika berhalangan sementara atau ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, maka wewenangnya dijalankan oleh pelaksana tugas. 

Jika Plt. dihitung masa jabatan, masalahnya ketika akumulasi setelah jabatan definitif saat penghitungan masa jabatan saat pelantikan plus masa jabatan Plt., maka itu akan bertentangan dengan ketentuan masa 5 tahun dan ini tidak masuk akal,” kata Herdiansyah.

  • Wakil Bukan Penjabat Sementara

Djohermansyah Djohan selaku Ahli dari Edi-Rendi memberikan pandangan bahwa dalam praktik kepemimpinan pemerintahan daerah terjadi berbagai peristiwa sehingga muncul konsep acting yakni orang yang berperan seolah-olah menjalankan tugas sebagai kepala daerah, padahal secara rilil bukan kepala daerah.

Hal ini terjadi karena kepala daerah yang definitif tersebut telah wafat, mengundurkan diri, atau diberhentikan.

Dalam rangka ini terdapat pengisian kekosongannya melalui dua jalan,  yakni dari ASN dan dari wakil (bupati).

Pelaksanaan kedua ini disebutkan berbeda antara wakil bupati dengan ASN, karena ASN itu dikategorikan penjabat sementara, contohnya Pjs. Pj. Plh.

Akan tetapi, bagi Wakil Bupati bukan penjabat sementara, ia merupakan pihak/orang yang ditugaskan melaksanakan tugas sebagai kepala daerah sekaligus menjabat sebagai wakil kepala daerah.

Ketentuan ini diatur dalam pasal 65 UU Pemda Nomor 23/2014 dan Pasal 66 yang mengatur tentang tugas wakil bupatinya.

“Dan jelas tidak bisa dikatakan Wakil Bupati itu yang melaksanakan tugas itu dihitung masa jabatannya sebagai kepala daerah definitif.

Makanya dalam kasus ini, Edy Damansyah yang menjadi bupati definitif, pengangkatan ini sisa masa jabatan 2016–2021 sesuai dengan SK Kemendagri pada 6 Februari 2019 dan yang bersangkutan telah dilantik Gubernur Kaltim pada 14 Februari 2019 serta berakhir masa jabatannya 25 Februari 2021.

Artinya masa jabatan beliau hanya menjadi Bupati 2 tahun 11 hari dan inilah yang dipahami oleh para penyelenggara pemilu dan ini pula yang dimengerti di pemerintahan serta ini yang dikenal publik dan bukan cara perhitungan lainnya,” jelas Djohermansyah.

  • Hanya Pembacaan Pakta Integritas

Dalam kesaksian Chairil Anwar (Asisten I Bidang Administrasi Pemerintahan dan Kestra periode 2011–2019) menceritakan bahwa ketika Bupati Kutai Kartanegara berhalangan, maka Wakil Bupati Edy Damansyah mendapatkan SK Gubernur Kaltim ditunjuk sebagai Plt. Bupati.

“Saat itu tidak ada pengangkatan sumpah pada kedua masa itu (10 Oktober 2017 dan 9 April 2018) hanya ada pembacaan Pakta Integritas.

Pas 14 Februari 2019, itu baru ada pelantikan dan sumpahnya dulu,” Djohermansyah.

  • Tidak Membedakan Definitf atau Pejabat Sementara
Halaman
1234
Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved