Pemangkasan Dana Transfer Daerah
Pengamat Unmul Soroti Sikap Pasif Pemprov Kaltim Soal Pemangkasan DBH
Pengamat Unmul kritik sikap pasif Pemprov Kaltim terkait isu pemangkasan Dana Bagi Hasil yang dinilai mencederai otonomi daerah
Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Amelia Mutia Rachmah
"Kita bisa lihat saja kasus PBB (Pajak Bumi Bangunan), itu kan bermula dari efisiensi pusat yang membuat dana transfer berkurang. Mestinya kan otaknya berpikir untuk menghindari supaya rakyat tidak jadi korban,” tukasnya.
Saiful menekankan, Gubernur, Walikota, Bupati, hingga unsur pimpinan legislatif adalah pejabat definitif yang dipilih untuk mewakili masyarakat, bukan hanya wakil partai politik.
"Kepala daerah tidak sedang mewakili dirinya atau kelompok tertentu. Ia mewakili rakyat yang kehidupannya bergantung pada kebijakan fiskal. Ada kesalahan dalam logika berpikirnya," singgungnya.
Apalagi, di tingkat provinsi yang sering mengklaim mereka perpanjangan tangan pusat di daerah, logika ini, seperti sangat tidak memahami makna dari otonomi.
Aturan desentralisasi sangat jelas, dalam undang–undang (UU) 32/2004 tentang Pemda.
Baca juga: APBD Perubahan 2025 Kaltim Dibahas, Hasanuddin Masud: Kita Tunggu Kepastian Pemangkasan DBH
Lebih jauh, Saiful menilai rencana pemangkasan DBH semakin memperlebar ketimpangan hubungan pusat dan daerah.
Ia menyinggung UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang merevisi UU 33 Tahun 2004, masih menyisakan masalah ketimpangan fiskal dan mengurangi kewenangan daerah.
"Ini kan Malah mengabaikan asas desentralisasi, pembagian itu saja (DBH) sudah tidak proporsional. Sekarang ditambah rencana pemangkasan, artinya ketidakadilan semakin menjadi-jadi. Seharusnya pemimpin daerah berdiri paling depan menolak,” pungkas Saiful. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.