Pemangkasan Dana Transfer Daerah
Pengamat Unmul Soroti Sikap Pasif Pemprov Kaltim Soal Pemangkasan DBH
Pengamat Unmul kritik sikap pasif Pemprov Kaltim terkait isu pemangkasan Dana Bagi Hasil yang dinilai mencederai otonomi daerah
Penulis: Mohammad Fairoussaniy | Editor: Amelia Mutia Rachmah
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Isu pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat kembali menuai sorotan.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Saiful Bahtiar, menilai sikap Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) justru terkesan pasif menghadapi kebijakan yang berpotensi merugikan daerah dan masyarakat.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul itu heran melihat pimpinan eksekutif maupun legislatif yang terlihat tenang saja menanggapi isu pemangkasan DBH.
“Anehnya, pemerintah daerah malah tenang-tenang saja,” sebut Saiful diawal, Rabu (10/9/2025).
Sikap Gubernur maupun Ketua DPRD biasa-biasa saja, seolah pasrah.
Baca juga: Dana Bagi Hasil Dipotong 50 Persen, Kepala Daerah Kaltim Suarakan Penolakan
Keduanya mewakili rakyat Kaltim yang selama ini hanya mendapat porsi kecil dari sumber daya alam (SDA) nya.
Sikap ini malah mempertanyakan mengapa keputusan yang berdampak luas itu mesti diterima.
Menurutnya, kebijakan ini jelas mencederai semangat otonomi daerah. Defisit anggaran dan utang negara bukan sepenuhnya tanggung jawab daerah, namun kini daerah ikut menanggung akibatnya.
"Defisit anggaran, utang menumpuk, itu kan tidak sepenuhnya tanggung jawab daerah. Tapi saat ini daerah malah dipaksa ikut menanggung dan pemda malah anteng-anteng saja," ungkap Saiful.
Ia menuturkan semenjak kewenangan minerba ditarik oleh pemerintah, pemda sudah seharusnya bersikap setidaknya mempertanyakan terkait kewenangan yang ditarik.
Baca juga: Dana Transfer Dipangkas, Penanganan Banjir di Balikpapan Terancam Mandek
Terlebih lagi, ujungnya harus berhadapan dengan masalah lingkungan.
Saiful juga menambahkan pada isu pemotongan DBH, pemerintah daerah justru tunduk dan patuh.
Padahal, sikap pasif ini tidak hanya berisiko merugikan pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program kerja, tetapi juga merugikan masyarakatnya.
Infrastruktur yang sudah lama diharapkan akan tertunda, pelayanan kesehatan akan terhambat, dan program pendidikan bisa kehilangan dukungan anggaran.
Ia juga menyinggung kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang pernah dialihkan ke daerah akibat efisiensi pusat dengan yang dikatakannya sebagai “memeras” warganya sendiri agar menambal lubang yang terbuka dari pemangkasan pusat.
Baca juga: Walikota Bontang Tolak Rencana Pemangkasan DBH, Sebut Langgar UU HKPD
"Kita bisa lihat saja kasus PBB (Pajak Bumi Bangunan), itu kan bermula dari efisiensi pusat yang membuat dana transfer berkurang. Mestinya kan otaknya berpikir untuk menghindari supaya rakyat tidak jadi korban,” tukasnya.
Saiful menekankan, Gubernur, Walikota, Bupati, hingga unsur pimpinan legislatif adalah pejabat definitif yang dipilih untuk mewakili masyarakat, bukan hanya wakil partai politik.
"Kepala daerah tidak sedang mewakili dirinya atau kelompok tertentu. Ia mewakili rakyat yang kehidupannya bergantung pada kebijakan fiskal. Ada kesalahan dalam logika berpikirnya," singgungnya.
Apalagi, di tingkat provinsi yang sering mengklaim mereka perpanjangan tangan pusat di daerah, logika ini, seperti sangat tidak memahami makna dari otonomi.
Aturan desentralisasi sangat jelas, dalam undang–undang (UU) 32/2004 tentang Pemda.
Baca juga: APBD Perubahan 2025 Kaltim Dibahas, Hasanuddin Masud: Kita Tunggu Kepastian Pemangkasan DBH
Lebih jauh, Saiful menilai rencana pemangkasan DBH semakin memperlebar ketimpangan hubungan pusat dan daerah.
Ia menyinggung UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang merevisi UU 33 Tahun 2004, masih menyisakan masalah ketimpangan fiskal dan mengurangi kewenangan daerah.
"Ini kan Malah mengabaikan asas desentralisasi, pembagian itu saja (DBH) sudah tidak proporsional. Sekarang ditambah rencana pemangkasan, artinya ketidakadilan semakin menjadi-jadi. Seharusnya pemimpin daerah berdiri paling depan menolak,” pungkas Saiful. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.