Horizzon

Belajar dari Paus Fransiskus 

Sikap sederhana Paus Fransiskus yang memilih kursi penumpang pada pesawat komersil Italian Airways saat melawat ke Indonesia sudah cukup menampar

|
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Samir Paturusi
DOK TRIBUNKALTIM.CO
Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim. 

Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim

SIKAP sederhana Paus Fransiskus yang memilih kursi penumpang pada pesawat komersil Italian Airways saat melawat ke Indonesia sudah cukup menampar perilaku hedonis pemimpin kita. 

Paus Fransiskus yang menolak menggunakan jet pribadi dan memilih duduk bersama 88 jurnalis seluruh dunia yang diajak dalam lawatan yang disebut sebagai Perjalanan Apostolik ini bertolak belakang dengan putra bungsu Jokowi yang kemudian tiba-tiba menghilang usai menumpang jet pribadi ke Amerika. 

Sudah biasa, menghilang untuk menyusun kebohongan agar apa yang dilakukan seolah-olah dianggap benar dan wajar.

Dan benar, usai diributkan, narasi mengarah pada pembenaran anak presiden bermewah-mewah juga sudah diramaikan oleh akun-akun bayaran. 

Paus yang menolak menggunakan mobil anti peluru dan memilih menumpang Toyota Innova, mobil kebanyakan yang digunakan warga Jakarta juga merupakan kesederhanaan seorang pemimpin yang mulai hilang di negeri kita. 

Baca juga: 3 Kebohongan Paling Epic

Belum lagi soal pilihan Paus yang memilih tak menginap di hotel bintang lima dan memilih tidur di Kedutaan Vatikan di Indonesia adalah contoh yang layak menjadi teladan di negeri yang mulai kehilangan keteladanan ini.

Paus Fransiskus juga memberi contoh tentang bagaimana ia memiliki landasan berpikir yang kuat meski beberapa sikapnya sempat menjadi kontroversi. 

Sebagai contoh adalah ketika sikapnya menolak perkawinan sejenis, namun meminta gereja Katolik memberkati kaum lesbian, gay, dan transgender dipertanyakan, ia memiliki jawaban yang konstruktif, tidak semata-mata menjawab "kok tanya saya" atau "saya belum mikir", sebagaimana jurus andalan seseorang yang nyaring di telinga kita. 

Paus menegaskan, saat kita semua lebih sibuk memperdebatkan boleh dan tidaknya perceraian, pasangan sejenis termasuk keluarga berencana, maka saat itu pula kita telah mengabaikan kenyataan bahwa bumi yang semakin rusak berikut ketidaksetaraan antara umat manusia yang terus berkembang biak subur. 

Kesederhanaan Paus Fransiskus pantas menjadi contoh sekaligus tamparan bagi negeri ini yang sudah kehilangan tauladan.

Baca juga: Perlawanan Diam Edelweizz

Nafsu kekuasaan yang dipertontonkan di negeri ini menjadi begitu massif, bahkan mampu menghilangkan frasa malu yang sebelumnya masih menjadi barrier ampuh dari ambisi kekuasaan. 

Rasa malu benar-benar hilang di negeri kita setelah satu dekade ini, politik dan kekuasaan menjadi tema paling ngehits pada peradaban bangsa ini.

Bersembunyi pada aturan perundang-undangan yang bisa dipesan secara instan, kekuasaan seolah menjadi barang jarahan yang telanjang dipertontonkan. 

Pesan kerukunan antarumat beragama sekaligus kesetaraan juga kental tercermin ketika Paus Fransiskus berkunjung ke Masjid Istiqlal dan disambut dengan hangat oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar. 

"Your holiness, ahlan wa sahlan, salam hormat dan selamat datang kami ucapkan. Saya sangat bersuka cita karena menyambut Yang Mulia di Masjid Istiqlal," sambut Nasaruddin Umar. 

Baca juga: Satu Menit Empat Puluh Tujuh Detik

Keduanya kemudian mempertontonkan kemuliaan dengan saling cium kening dan tangan sebagai tanda pernghormatan tertinggi antarpemimpin umat beragama yang berbeda di depan publik.

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, namun kesetaraan di bumi adalah prioritas yang harus dikedepankan sebagai umat manusia. 

Banyak pelajaran dan nilai yang patut kita contoh dari kunjungan singkat Paus kelahiran Argentina ini. Namun meski harus mengecilkan makna dari tulisan ini, tak elok jika pers atau media atau lebih sempit lagi jurnalis tak belajar dari kunjungan Paus ini. 

Kita tahu, masih ada saja pihak-pihak yang secara picik memaknai beda kunjungan Paus ke Indonesia.

Rasanya masih banyak pikiran-pikiran sesat yang merasa terancam dengan apa yang kita sebut sebagai kerukunan dan kesetaraan.

Meski tak harus kita kemukakan contohnya, beberapa pihak sengaja menodai kunjungan Paus ini dengan anasir-anasir negatif.

Baca juga: Kebenaran Baru dan Kegagalan Pers

Kita bersyukur, hampir seluruh media mainstream alias media yang mengedepankan nilai, tak mengamplifikasi hal tersebut menjadi asupan konten mereka. 

Kalaupun ada, patut kita sebut media tersebut dalam kesesatan yang nyata dan kita tak perlu berdebat dengan membuka kode etik jurnalistik atau apa pun. 

Sekali lagi, meski akan mengecilkan makna dari belajar terhadap Paus, bagi jurnalis memilih mana yang pantas untuk disampaikan adalah ukuran bagaimana mereka memahami esensi dari profesi atau peran profesi itu sendiri. 

Baca juga: Tribun Kaltim Mengeja Pilkada 2024 

Sengaja untuk mengecilkan atau menyempitkan makna dari tulisan ini, dari Paus kita boleh belajar menghadapi kontestasi Pilkada serentak yang sudah di depan mata. Kita diingatkan, bahwa tidak semua fakta harus diberitakan. (*)

Sumber: Tribun Kaltim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Mengapa Rakyat Mudah Marah?

 

Lonjakan PBB dan Judul Clickbait

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved