Horizzon
Satu Menit Empat Puluh Tujuh Detik
Rekaman suara yang kuat diduga dari Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Kartanegara yang tengah berperkara ini adalah sebuah pembelaan atau sanggahan
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim
MENYIMAK isinya, rekaman suara berdurasi satu menit empat puluh tujuh detik yang beredar belakangan biasa saja.
Rekaman suara yang kuat diduga dari Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Kartanegara yang tengah berperkara ini adalah sebuah pembelaan atau sanggahan yang terkait dengan pengembangan kasus yang tengah berjalan.
Kita paham, saat ini aparat penegak hukum tengah mengembangkan kasus mantan Bupati Kukar ini terkait dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang belakangan merembet ke sejumlah tokoh dan pengusaha di lingkaran Rita Widyasari.
Rekaman yang hingga saat ini belum terkonfirmasi asal usulnya ini berisi penolakan atau sebut saja pengingkaran Rita bahwa sejumlah mobil dan barang berharga yang disita dari sejumlah pihak terkait dengan dirinya.
Rekaman suara itu normatif saja, dan siapapun yang berada dalam posisi Rita pasti akan menyampaikan hal yang sama.
Namun harus diakui, konten yang ada di dalam rekaman tersebut tentu menjadi sangat seksi untuk dioptimasi menjadi bahan pelengkap atau penyeimbang dari arus utama informasi yang bersumber dari lapangan terkait dengan apa yang dilakukan aparat penegak hukum.
Baca juga: Sekuel Golf Car Rp271 T
Berulangkali memutar rekaman suara tersebut, pemilik suara beberapa kali menyebut: dirinya dengan Rita dan sesekali menyebut dirinya dengan kata ganti orang pertama tunggal, yaitu aku.
Jika sebatas dari kontennya, maka hampir pasti, rekaman suara itu adalah rekaman suara dari seorang Rita Widyasari, mantan Bupati Kukar.
Namun sebagai seorang jurnalis, tentu kita tak bisa semudah itu percaya bahwa itu adalah suara Rita Widyasari, pihak yang sedang berperkara.
Jurnalis tak bisa dan tak boleh percaya begitu saja dengan apa yang mereka peroleh di sosial media.
Harus ada pihak yang kompeten untuk memastikan bahwa itu benar-benar suara Rita dan diperoleh secara legal.
Baca juga: Sirene Densus 88 di Depan Kejaksaan Agung
Bukannya kita tahu, posisi Rita tidak sedang dalam posisi persona yang merdeka, Rita sedang dalam posisi yang ruang geraknya dibatasi, termasuk akses komunikasi dengan pihak luar.
Sebagai jurnalis mestinya menjadi jeli bahwa secara normatif, Rita tak memegang alat komunikasi.
Jika benar demikian, lantas bagaimana ia bisa mengirim suara tersebut?
Boleh jadi, analisa di atas adalah analisa terlalu normatif.
Sebab, seorang narapidana masih berpeluang untuk bertemu dengan siapapun dalam batas-batas tertentu.
Keluarga atau pengacaranya, atau orang-orang dekat di lingkarannya mash tetap berpeluang bertemu pada waktu yang ditentukan.
Bukankah boleh saat itu rekaman suara ini dibuat dan kemudian disebar oleh pihak lain.
Baca juga: Benarkah Kaltim jadi Tuan Rumah IKN?
Tetapi lagi-lagi jika melihat kontennya, jika kita tak benar-benar yakin bahwa rekaman suara itu adalah suara Rita, apa urgensinya media ikut mengoptimasi atau mengamplifikasinya?
Ini adalah otokritik untuk pers kita saat ini.
Untuk istilah yang lebih sopan dari era 'barbar', pers kita sedang terjebak pada pragmatisme yang cukup akut.
Nyaris tanpa filter kita menggunakan konten tersebut tanpa pernah mengkonfirmasi dan menguji kesahihan bahwa itu benar-benar suara Rita.
Tribun Kaltim termasuk bagian yang tak bisa menahan syahwat untuk bertahan pada prinsip dasar jurnalistik.
Dengan pertimbangan tak ingin ketinggalan atau kalah di search engine, semua menjadi tak peduli dengan pedoman-pedoman dasar bermedia.
Baca juga: Ketika Batu Bara Dengar Cerita tentang Derita Timah
Jika boleh berpendapat dan kembali di bagian awal tutisan ini, isi dari rekaman tersebut sama sekali tak bersifat urgen.
Konten ini baru menjadi urgen dan layak menjadi penyeimbang jika kita sebagai jurnalis meyakini bahwa itu benar-benar suara Rita Widyasari.
Kedua, jika benar potongan suara itu adalah suara Rita yang dikirim ke seorang jurnalis atau orang kepercayaan Rita, maka kita harus berpikir normatif bahwa itu sebenarnya konten eksklusif dan sayang untuk disebarkan.
Jika seorang jurnalis memeroleh informasi penting dari narasumber mahkota, artinya ia memiliki akses spesial dan seharusnya di-keep dan menjadi bahan ekslusif sebagai bukti positioning yang bersangkutan.
Asumsinya, rekaman itu bocor dan tak sengaja terkirim ke publik.
Baca juga: Kebenaran Baru dan Kegagalan Pers
Rekaman itu tak mungkin sengaja di-share ke publik, sebab jika sengaja disebar dengan mudah kita bisa melihat ada motif di belakangnya untuk pembelaan atau membangun narasi positif terhadap Rita, walaupun itu juga sah-sah saja.
Apa pun itu, jika tidak untuk dijadikan bahan berita, isi dari rekaman itu menarik untuk disimak.
Termasuk bagaimana ia menyebut nama pada orang yang dikirimi voice tersebut di bagian awal dan juga bagaimana ia memberi atribusi -anak- pada pihak yang dikirimi suara di penutup rekaman suara berdurasi satu menit empat puluh tujuh detik ini. (*)
Ikuti berita populer lainnya di Google News Tribun Kaltim
Ikuti berita populer lainnya di saluran WhatsApp Tribun Kaltim
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.