Berita Balikpapan Terkini
MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Respons Praktisi Hukum Balikpapan
Putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil mendapat sorotan dari praktisi hukum di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Penulis: Mohammad Zein Rahmatullah | Editor: Miftah Aulia Anggraini
Ringkasan Berita:
- Praktisi hukum Balikpapan Mangara Tua Silaban menilai larangan polisi aktif menjabat posisi sipil merupakan langkah maju, namun berpotensi dilemahkan oleh resistensi elite politik.
- Ia menyoroti lebih dari 4.351 anggota Polri aktif masih berada di jabatan sipil, menandakan reformasi belum berjalan konsisten.
- Mangara mengingatkan publik untuk mengawal implementasi putusan MK agar tidak dimanipulasi melalui celah regulasi atau tafsir teknis.
TRIBUNKALTIM.CO, BALIKPAPAN - Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan penting terkait perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil.
Putusan ini dinilai sebagai langkah maju bagi agenda reformasi.
Praktisi hukum sekaligus pendiri LBH Sentra Juang Balikpapan, Mangara Tua Silaban, mengingatkan bahwa implementasinya masih mendapat resistensi dari berbagai pihak.
"Di republik ini, politik sering bergerak seperti tarian poco-poco. Satu langkah ke depan, sedikit menyamping, lalu tanpa sadar mundur lagi," ulas Mangara, Minggu (16/11/2025).
Baca juga: MK Larang Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil, Respons Istana, Polri, dan DPR
Mangara menyoroti dua peristiwa yang datang berdekatan dan menunjukkan tarik-menarik kekuatan politik di Indonesia.
Pertama adalah pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Soeharto yang menuai pertanyaan tentang keteladanannya.
Berikutnya, putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil.
Kedua peristiwa itu, kata Mangara, menunjukkan republik bergerak di antara dua kutub.
Baca juga: MK Larang Kapolri Tempatkan Polisi Aktif di Jabatan Sipil, Wajib Mundur atau Pensiun
Diantaranya pewaris Orde Baru yang ingin menghidupkan kembali “kenyamanan lama” dan kaum reformis yang berupaya menjaga sisa semangat 1998.
Mangara berpendapat, keduanya hidup, tumbuh, dan bekerja dalam ruang politik yang sama, kadang saling menekan dan kadang saling menutupi.
Dalam sidang MK terkait perkara tersebut, ahli Soleman Pontoh mengungkapkan data yang tidak bisa dianggap ringan.
Dimana ada 4.351 anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil, termasuk 1.184 perwira aktif.
Baca juga: MK Larang Rangkap Jabatan, Pemerintah Justru Tambah Wamen Jadi Komisaris, Mental Pelanggar Hukum
Angka-angka ini menunjukkan bahwa perubahan yang seharusnya sudah selesai justru tidak pernah benar-benar dimulai.
Agenda reformasi yang menuntut pemisahan tegas antara sipil dan aparat telah berusia lebih dari dua dekade.
Namun publik kembali diingatkan bahwa kondisi sebenarnya masih jauh dari kata ideal.
"Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian masyarakat bahkan tidak lagi menganggap hal ini sebagai masalah," tegas Mangara.
Baca juga: Sikap Istana soal Putusan MK Larang Wakil Menteri Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Menurutnya, ketika penyimpangan dianggap wajar, saat itulah reformasi sedang mundur secara perlahan.
Mangara menjelaskan bahwa yang disebut "kembalinya Orde Baru" hari ini bukan tentang pelarangan demonstrasi atau militerisme yang vulgar.
Ia muncul lebih halus lewat normalisasi aparat aktif di jabatan sipil, kebijakan tumpang-tindih, dan manipulasi persepsi publik.
"Para perwira aktif yang ditempatkan di jabatan sipil membawa serta budaya komando, loyalitas institusi, dan cara pandang yang berbeda," ungkap Mangara.
Baca juga: Daftar 30 Wamen yang Bisa Digugat ke PTUN, MK Larang Rangkap Jabatan
Ketika ruang sipil dipenuhi logika komando, publik perlahan kehilangan ruang untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Dia beranggapan, demikian adalah bentuk kekuasaan yang bekerja senyap, tanpa suara keras, tetapi perlahan menggerus batas-batas reformasi yang diperjuangkan dengan pengorbanan.
Ketika MK mengeluarkan putusan yang menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil, publik mendapatkan sedikit alasan untuk optimis.
Namun optimisme itu cepat pudar karena sejumlah elite politik segera melontarkan pernyataan sinis, meragukan, bahkan menolak putusan MK tersebut.
Baca juga: Setelah Tolak Perpanjangan Usia Pensiun TNI, Kini MK Larang Prajurit Aktif Jadi Pj Kepala Daerah
Ada yang menyebut MK "tidak memahami kebutuhan negara", ada yang menyatakan bahwa "penempatan aparat di jabatan sipil itu lumrah", dan pernyataan lainnya.
Mangara menilai pernyataan semacam itu bukan sekadar komentar spontan, tetapi tanda langkah mundur yang kerap muncul setelah sebuah putusan penting dikeluarkan.
"Ini adalah tanda-tanda resistensi dan ketidaktaatan pada prinsip negara hukum (rule of law)," kata Mangara.
Menurut dia, manipulasi putusan MK biasanya dimulai dari wacana bahwa putusan itu terlalu ideal, terlalu normatif, dan terlalu tidak operasional.
Baca juga: Jakarta Diguncang Demo Hari Ini, Aksi Ultras Garuda di Kantor PSSI hingga Mahasiswa Geruduk MK
Begitu wacana diterima publik atau publik mulai lengah, muncul ruang untuk membuat aturan teknis berbelit, celah penugasan khusus, atau skema mutasi yang membuat anggota Polri “tidak aktif tetapi belum pensiun”.
"Di situlah pola poco-poco bekerja. MK melangkah maju satu langkah, tetapi kekuatan politik menariknya mundur dua langkah lewat narasi, regulasi, atau tafsir yang melemahkan" jelasnya.
Mangara menegaskan bahwa kaum reformis hari ini bukan hanya “Aktivis 98”, tetapi siapa pun yang menolak menormalisasi gejala kemunduran yang dibungkus sebagai “kebutuhan teknis negara.”
Baginya, publik memiliki kekuatan penting, yakni menolak narasi yang membelokkan putusan MK, mengawasi pelaksanaannya, dan terus bersuara ketika upaya reformasi mulai dipelintir.
Baca juga: Kritik dan Pujian untuk Prabowo di Satu Tahun Pemerintahannya, Eks Ketua MK Soroti Gemuknya Kabinet
"Putusan MK memang memberikan satu langkah maju, tetapi langkah itu masih rapuh," ujar Mangara.
Menurut dia, suara-suara yang resisten sedang menata kata agar putusan itu terdengar tidak penting, tidak realistis, dan tidak perlu dipatuhi.
Seperti yang sering terjadi dalam republik ini, manipulasi selalu dimulai dari wacana sebelum berubah menjadi kebijakan.
Mangara menekankan bahwa kewaspadaan publik adalah kuncinya.
Baca juga: Gugat Uang Pensiun DPR ke MK, Syamsul Jahidin: Ketimpangan Nyata Bagi Rakyat Indonesia
Menurutnya, reformasi hanya bergerak maju sejauh publik bersedia menjaga ritmenya.
Baginya, publik harus waspada terhadap upaya melemahkan atau mengabaikan putusan MK lewat berbagai modus yang dibungkus bahasa teknis dan administratif.
"Jika putusan MK tidak dikawal dan penarikan ribuan aparat dari jabatan sipil tidak dituntut, kita akan kembali menari poco-poco, maju sebentar lalu mundur tanpa sadar," tandasnya. (*)
| 35 Warga Binaan Rutan Balikpapan Dibebaskan, Ini Mekanisme dan Syaratnya |
|
|---|
| Gasali Jadi Calon Tunggal Ketua KONI Balikpapan, Klaim Dukungan Cabor 40 Persen |
|
|---|
| Residivis Pengedar Sabu Dibekuk di Muara Rapak Balikpapan, Polisi Sita 12 Paket dan Mesin Press |
|
|---|
| Cegah Banjir, Sedimentasi Saluran di Jalan Manunggal Balikpapan Dibersihkan |
|
|---|
| 11 Layanan Publik Terintegrasi dalam B-Connect, Dilengkapi Rekaman CCTV |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltim/foto/bank/originals/20251116_Praktisi-hukum-Balikpapan-Mangara-Tua-Silaban-merespons-putusan-MK.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.