Horizzon
Membaca Upaya Cerdas Memperpanjang Narasi IKN
Ribuan pertanyaan muncul di kepala ketika Sabtu (11/1/2025) kemarin, saya kembali datang ke Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan cara berbeda.
Penulis: Ibnu Taufik Jr | Editor: Syaiful Syafar
Oleh: Ibnu Taufik Jr
Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim
RIBUAN pertanyaan muncul di kepala ketika Sabtu (11/1/2025) kemarin, saya kembali datang ke Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan cara berbeda.
Jika sebelumnya berkunjung ke IKN selalu menjalankan misi liputan sebagai jurnalis, maka perjalanan ke IKN kemarin, saya menjadi layaknya warga kebanyakan yang ingin menikmati suasana Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN yang dibuka untuk publik sejak 16 September 2024 lalu.
Setelah sukses mendaftar di aplikasi IKNOW dan kemudian registrasi di rest area pengunjung, termasuk saya boleh naik ke Electric Vehicle (EV)—semacam bus bertenaga listrik untuk masuk ke KIPP.
Electric Vehicle yang membawa masuk ini juga yang nantinya menjemput pengunjung dari titik yang sama ketika turun untuk kembali dibawa ke rest area.
Sebelumnya, Troy Pantouw, Staf Khusus Kepala Otorita IKN Bidang Komunikasi Publik sekaligus Juru Bicara Otorita IKN, menyebut bahwa sejak 16 September 2024, IKN terbuka dan bisa dikunjungi oleh masyarakat kebanyakan.
Baca juga: Ingat, IKN Masih di Kaltim!
Layanan kunjungan ke IKN ini dibuka setiap hari mulai pukul 09.00 hingga 17.00 WITA.
OIKN mengklaim, sejak dibuka hingga 31 Desember 2024, total sudah ada 162 ribu orang yang teregister masuk dan menikmati layanan tersebut.
Sementara dari data di lapangan, jumlah pengunjung di IKN ini mencapai puncak pada 1 Januari 2025 yang tembus hingga di atas 10 ribu orang berkunjung.
Sedangkan rata-rata kunjungan tiap hari ada di angka 400-500 orang di weekday dan 4.000 sampai 5.000 orang setiap weekend.
Pengunjung bisa melihat langsung sejumlah spot penting di IKN seperti Istana Garuda, Istana Presiden, dan sejumlah fasilitas lainnya yang banyak beredar di sosial media tentang kemegahannya.
Baca juga: Benarkah Kaltim jadi Tuan Rumah IKN?
Tak hanya itu, pengunjung juga bisa melihat langsung proses pembangunan yang juga masih berlangsung di IKN.
Area yang dikunjungi dan juga jalur EV melintasi kawasan-kawasan yang memang sudah terlihat fasadnya dengan cukup cantik.
Sementara, kawasan-kawan yang masih jalan tanah, yang masih berantakan tak terlihat dan tak boleh dikunjungi dengan alasan keamanan.
Lagi-lagi, saya teringat dengan banyak pertanyaan tentang situasi terkini IKN, mulai dari masa depan IKN, berapa biaya, dan juga nasibnya.
Namun, ujung dari pertanyaan tersebut adalah tentang kebijakan OIKN sekaligus pemerintah pusat yang memutuskan untuk membuka akses alias mengizinkan publik bisa masuk ke KIPP, sementara di situ juga tengah ada proyek infrastruktur.
Baca juga: Ketika Batu Bara Dengar Cerita tentang Derita Timah
Selain cukup membahayakan, terasa aneh saja tampilan proyek yang akan menjadi sebuah Istana Negara dipamerkan kepada publik luas.
Ini tentu menjadi diskusi menarik jika bicara soal keamanan.
Gayung bersambut dengan pertanyaan tersebut adalah panduan dari pemandu dari OIKN yang mendampingi pengunjung.
Saat EV berjalan, kita semua diberikan sejumlah perspektif tentang apa yang sedang terjadi dan masa depan IKN.
Dalam penyampainnya, saya ingat betul bahwa yang disampaikan adalah penegasan bahwa trip ke IKN tersebut bukan sebagai kunjungan wisata.
"Bapak, ibu semua, jadi kita ini bukan sedang berwisata ke IKN ya, kita sedang melihat proyek pembangunan istana," demikian kira-kira kalimat pembuka yang disampaikan petugas dari OIKN melalui megaphone.
Baca juga: Tantangan Bandara SAMS Sepinggan Balikpapan Jadi Gerbang IKN
Narasi bukan sebagai bentuk mengunjungi sebuah destinasi wisata ini justru semakin mengaduk-aduk rasa penasaran saya, yang menguatkan rasa ingin tahu, kenapa OIKN membuka KIPP bisa diakses publik?
Tidak perlu berdebat, meski OIKN memberi label penting bahwa kunjungan ke IKN bukanlah wisata, namun pada kenyataannya aktivitas kunjungan ke IKN berikut sejumlah fasilitas yang ada di rest area yang dipenuhi dengan pernak-pernik cendera mata IKN, agak sulit untuk menentang pemahaman bahwa kunjungan ke IKN bukanlah sebuah aktivitas wisata.
Kita tahu, meski sesekali harus pura-pura tak paham bahwa proyek IKN ini adalah proyek yang menelan biaya tak sedikit.
Proyek gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini diproyeksikan akan menelan biaya total sebesar Rp 466 triliun.
Rencana awal, Rp 466 triliun tersebut tidak semuanya akan dibebankan ke APBN, melainkan berharap dari investor, yang sampai sekarang masih harus diupayakan berikut didoakan.
Dari rencana tersebut, sejak 2022 hingga 2024, proyek gagasan Jokowi ini telah menelan anggaran Rp 75,8 triliun dengan rincian Rp 5,5 triliun di 2022, Rp 27 triliun pada 2023, dan Rp 43 triliun pada 2024.
Digagas Jokowi dengan menghabiskan Rp 75,8 triliun, tentu menjadi dilema bagi pemerintahan selanjutnya usai Jokowi lengser.
Baca juga: Terima Kasih Pak Jokowi
Dilanjutkan masih butuh banyak duit, sementara jika dihentikan tentu akan menjadikan uang Rp 75 triliun lebih yang sudah dikeluarkan menjadi sia-sia.
Sikap dilema ini sesungguhnya sempat terbaca saat Kementerian Keuangan hanya mengalokasikan uang untuk kelanjutan IKN di angka ratusan miliar.
Waktu itu alasannya sederhana, yaitu menunggu kebijakan politik Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih.
Anggaran tersebut kemudian berubah setelah Prabowo sebagai presiden terpilih menegaskan komitmen politiknya untuk melanjutkan proyek IKN.
Saat itu, untuk 2025 pemerintah menyiapkan angka Rp 15 triliun untuk IKN.
Keputusan politik Prabowo untuk melajutkan IKN ini tidak sesederhana yang kita bayangkan.
Prabowo harus pandai merayu investor asing masuk ke IKN sebagaimana perencanaan awal proyek ini.
Baca juga: Kenapa Pekerja Rela Terima Upah di Bawah Rp 3.579.313?
Selain itu Prabowo juga harus memastikan keuangan kita cukup untuk membiayai proyek berbiaya besar ini, disamping kebutuhan lain termasuk program makan siang bergizi yang menjadi janji politik Prabowo.
Anggap saja Prabowo mampu mengatur soal keuangan tersebut, namun masalah tidak otomatis selesai.
Prabowo masih harus pandai meyakinkan sejumlah negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan kita juga segera memindahkan kantor perwakilan mereka di kawasan IKN di Kalimantan Timur.
Dari sini, pelan dan pasti pertanyaan tentang kebijakan membuka IKN untuk publik ini tentu bagian dari narasi untuk memperpanjang asa agar proyek pembangunan IKN masih bisa dianggap rasional.
Menjadikan kawasan IKN seolah sebagai destinasi wisata dengan nomenklatur bukan tempat wisata, setidaknya mampu menjadi narasi lain tentang proyek karya Jokowi ini.
Baca juga: Ketika yang Miskin Prestasi Ikut Difasilitasi Negara
Selain itu, membuka KIPP untuk bisa dikunjungi juga bisa dimaksudkan untuk utilitas sampingan dari fungsi sebagai kantor pemerintahan menjadi ajang kunjungan publik.
Apa pun itu, Kalimantan Timur masih tetap berharap agar proyek IKN ini akan menjadi jilid ketiga ekonomi Kaltim, usai jilid pertama berupa kayu, dan jilid kedua berupa batu bara dan energi lainnya terus diambil dari perut bumi Kalimantan Timur.
Kaltim masih terus memelihara harapan agar proyek IKN tidak lagi egois seperti membangun menara gading di dalam tembok, namun justru lupa dan tidak mengajak serta melibatkan Kalimantan Timur untuk ikut berakselerasi bersama.
Sederhana saja indikatornya, ketika di Kaltim masih ada kabupaten yang terisolasi jalan darat semacam Mahakam Ulu, maka IKN masih egois.
Begitu pula jika infrastruktur jalan, layanan kesehatan dan pendidikan di Kaltim masih bermasalah, maka sesungguhnya proyek IKN adalah proyek yang tidak beretika terhadap masyarakat Kalimantan Timur. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.